mau dapetin informasi tentang dunia kesehatan, makanan yang bergizi disini tempatnya,,,,!!!!

Makalah Ushul Figh.DZAHIR

 DZAHIR

Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qorinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya
.[12]  Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung kemungkinan adanya takwil.[13] Al Amidy memberikan definisi: Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah.[14]  Qodhi Abi Ya’la merumuskan definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan dua makna , namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.[15] Definisi yang tampaknya lebih sempurna dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf : lafadz yang dengan sighatnya sendiri menunjukkan apa yang dimaksud tanpa tergantung pemahamannya kepada lafadz lain, tetapi bukan maksud itu yang dituju dalam ungkapan, serta ada kemungkinan untuk ditakwilkan.[16]
Contoh dzahir adalah firman Allah SWT ,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾[17]
275.), padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
Ayat ini secara dzahir menunjukkan pembolehan jual beli dan pengharaman riba, karena bisa dipahami tanpa perlu qorinah akan tetapi konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli dan riba sebagai bantahan atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara jual beli dan riba. Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang diturunkannya ( asbabun nuzul). Kehalalan jual beli dan keharaman riba sudah diketahui sebelum diturunkannya ayat, kehalalan jual beli adalah makna yang pokok adapun keharaman riba dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Barr tentang ayat ini,” adapun ayat pengharaman riba telah diturunkan jauh mendahului sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam QS Ali Imron[18],

  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٣٠﴾[19]

130. Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.
 Demikian juga diriwayatkan oleh Assuyuti dalam asbabunnuzulnya tentang ayat ini: Al Farabi telah mengeluarkan dari Mujahid beliau mengatakan,” mereka melakukan jual beli dengan tempo apabila temponya tiba mereka menambahkan harganya dan memperpanjang temponya maka turunlah ayat ini. Juga dikeluarkan dari  Ato beliau mengatakan,” adalah bani Tsaqif berhutang pada Bani Nadir pada masa jahiliyah, apabila jatuh tempo mereka mengatakan,” kami akan memberi tambahan pada piutang kalian dan kalian menangguhkan tempo.” Maka turunlah ayat ini (QS Ali Imron 130).”[20]  Oleh karena itu menjadi jelaslah bahwa pengharaman riba  telah ada jauh sebelum ayat surah Al baqoroh ayat 275. Kesimpulannya QS Al Baqoroh ayat 275 ini bukanlah mempunyai konteks makna penghalalan jual beli dan pengharaman riba. Akan tetapi konteks ayat ini adalah untuk membantah anggapan orang-orang kafir yang menyamakan hukum jual beli dan riba. Jadi nash ayat ini untuk menegaskan perbedaan kedua transaksi tersebut. [21]
Meskipun dzahir bisa dipahami tanpa qorinah namun tidak ada keterangan di dalam Al Quran yang tidak dilindungi dengan qorinah hingga bisa disalah pahami. Contoh adalah firman Allah SWT,
هُوَ الَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ ﴿٧﴾
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
 Dari ayat di atas dipahami bahwasannya Allah itu esa dan tidak ada sekutu bagiNya. Dengan cara menta’rifkan lafadz dua ujung pertamaهوالذي  Allah mengkhususkan penurunan Al Quran kepada Nabi Muhammad. Kalau ada Tuhan selain Allah niscaya akan menurunkan Kitab seperti Al Quran kepada selain Nabi Muhammad.
Makna ini bukanlah yang dikehendaki secara asli, akan tetapi bisa dipahami dari nazm dengan berlandaskan kaidah-kaidah pemahaman yang sahih. Dengan demikian makna ini bersifat dzahir . dzahir disini bukan berarti mudah dipahami oleh orang awam akan tetapi mempunyai makna sekunder. [22]
Tentang status hukum lafadz dzahir ini meski ada perselisihan apakah lafadz dzahir memberi makna yakin dan qoti’, tapi para fuqoha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban melaksanakannya menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafadz itu. Penetapan hudud ‘uqubat syarie’ dan kifarat sah dilakukan dengan lafadz dzahir. [23]
Apabila hermeneutika diaplikasikan dalam lafadz dzahir maka akan banyak ajaran-ajaran pokok Al Quran yang dimentahkan. Makna tauhid dipaparkan lebih banyak dalam lafadz dzahir daripada nash. Hampir tidak ada ayat dalam Al Quran yang tidak menyinggung tauhid. Demikian juga petunjuk-petunjuk Al Quran sangat banyak disebutkan dalam lafadz dzahir. [24]  Akan terjadi pengkaburan makna tauhid pendangkalan akidah, dan dekonstruksi syariat islam. Makna-makna yang qoti’ akan diragukan, hukum-hukum yang wajib diamalkan, halal dan haram akan ditolak. Contoh firman Allah dalam Qs. al baqoroh 275,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.  (Qs. al Baqoroh 275).

Dzahir ayat di atas adalah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Hukum ini jelas dan qoti’. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada dzahir ayat ini maka riba bisa menjadi halal dan jual beli menjadi haram. Contoh lain adalah firman Allah Qs.Al Hasyr,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴿٧﴾
007. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah Qs. Al Hasyr ayat 7
Dzahir ayat diatas adalah memerintahkan untuk taat kepada Rasul SAW. Makna ayat ini jelas dan qoti’. Menjalankan hukumnya adalah wajib. Apabila hermeneutik diaplikasikan pada ayat ini maka makna dzahir yang qoti’ menjadi relative dan terbuka kemungkinan berubah. taat kepada Rasul menjadi tidak wajib. 
 NASH
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah :  lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.[25]
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,
 ذَلِك بِأَنَّهُمْ قَالُواْ إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا
. sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,

Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayatواحل الله البيع وحرم الربا  adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu  واحل الله البيع وحرم الربا secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran,

فَانكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ ﴿٣﴾[26]
Qorinah وثلاث ورباع datang setelah perintah menikah untuk menunjukkan bahwa maksud konteks kalam adalah keterangan jumlah yang diizinkan bagi seorang muslim. Maka ayat ini secara dzahir adalah penghalalan pernikahan dan nash jumlah yang dibolehkan. Demikianlah qorinah sebagai pembeda antara dzahir dan nash dan sebagai petunjuk bahwasannya nash itulah yang dimaksud oleh kalam.[27]
Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil  takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qot’i atau yakin.[28]
Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak langsung.[29] Juga kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.[30]
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash al Quran maka makna nash yang sudah jelas dan qoti’ akan akan kabur dan tidak pasti. Hukum-hukum dalam nash al Quran yang wajib diamalkan akan ditolak. Perkara-perkara metaphisik yang dijelaskan dalam nash akan diragukan. Contoh firman Allah dalam Qs. al Baqoroh ayat 275,                               
 وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَاَ ﴿٢٧٥﴾[31]
Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Qs. al Baqoroh ayat 275.
Ayat di atas adalah nash tentang perbedaan hukum jual beli dan riba. Jual beli hukumnya halal sedangkan riba haram. Makna ini jelas dan qoti’. Hukumnya juga wajib dilaksanakan.
Apabila hermeneutik diaplikasikan pada nash tersebut. maknanya menjadi kabur dan hukumnya ditolak. Sehingga akan mengantarkan kepada kesimpulan tidak ada perbedaan antara jual beli dan riba.
 MUFASSAR ((المفسر
Dengan ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
 Al Sarkhisi memberi definisi :  Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain. Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.[32] Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya.[33]  Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu: a.Penunjukannya terhadap makna jelas sekali. c. Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar. d. Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.[34]
Contohnya firman Allah tentang had zina
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ[35]
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera (QS. Annur 2) , dan tentang had qodzaf

 وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاء فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً ﴿٤﴾

004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

Masing-masing lafadz yaitu : ((مئة dan ثمانين)) mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan. Dan firman Allah SWT,
  وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَآفَّةً وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ ﴿٣٦﴾

dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.
Kalimat  كافة menafikan kemungkinan adanya takhsis.
Dengan demikian mufassar adalah lafadz atau kalam yang disertai dengan bayan taqriri atau bayan tafsiri sehingga menjadi lebih jelas daripada nash dan maksudnya bisa dipahami dengan sighot bukan dengan makna dari mutakallim. Bayan Taqriri adalah keterangan yang memutus kemungkinan adanya takhsis apabila lafadznya ‘aam dan kemungkinan adanya makna metaphor dan takwil apabila lafadznya khos, sehingga lafadz menjadi kuat, pasti dan tegas seperti ayat, وَقَاتِلُواْ الْمُشْرِكِينَ كَآفَّةً.
Bayan Tafsiri adalah keterangan yang menghapus adanya kesamaran yang menyelimuti kalam sehingga menjadikannya jelas, seperti firman Allahفسجد الملائكة كلهم اجمعين  nama malaikat bersifat umum yang memungkinkan adanya takhsis karena ia adalah lafadz jama muarraf dengan huruf laam hingga mengindikasikan ‘aam akan tetapi mengandung kemungkinan takhsis adanya sebagian malaikat yang tidak bersujud, tetapi dengan adanya lafadz  كلهم hilanglah kemungkinan itu. Ini bayan taqriri. Ketika ada tambahan   أجمعون hilanglah kemungkinan para malaikat bersujud sendiri-sendiri. Inilah bayan tafsiri yang menafsirkan cara bersujudnya para malaikat dan memutus kemungkinan takwil.[36]
Hukum mufassar adalah wajib mengamalkannya. Berdasarkan keterangannya yang terperinci dan dalalahnya yang qoti’. Pada periode Rasululloh SAW mufassar mengandung kemungkinan dinaskh apabila termasuk hukum yang boleh dinaskh. Adapun sesudah meninggalnya beliau seluruh hukum di dalam Al Quran menjadi muhkam dengan terputusnya wahyu.[37]
Apabila metode hermeneutik diaplikasikan pada ayat mufassar, maka ayat-ayat mujmal tetap dalam keadaan mujmalnya. Tidak ada makna pasti yang memerinci ayat-ayat mujmal agar bisa diaplikasikan ke dalam taklif syarie. Bagaiman pengertian sholat secara terminology syariah, pelaksanaan zakat dan haji. Masing-masing orang akan melaksanakan praktek ibadah atas dasar pemahamannya. Contoh mufassar adalah firman Allah,
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ ﴿١١٠﴾[38]
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Qs. al Baqoroh 110
Ayat di atas adalah perintah untuk menegakkan sholat dan menuanaikan zakat secara mujmal. Kemudian Rasululloh SAW menjelaskan makna dan pelaksanaan sholat dan zakat baik secara lisan maupun praktek. Maka lafadz ayat yang mujmal naik menjadi mufassar sehingga tidak menerima takwil. Apabila metode hermeneutic diterapkan, maka lafadz mujmal akan tetap samar. keterangan yang memufassarkannya akan diragukan dan direlatifkan. Tidak ada pedoman yang disepakati dan jelas dalam melaksanakan taklif syari’. Masing-masing orang akan menafsirkan sendiri keterangan-keterangan yang mujmal. 

AL MUHKAM  (المحكم)
Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh.[39] Seperti sabda Nabi SAW,” Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan seperti firman Allah, “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya. QS. a-Nnur :4
Al Muhkam lebih kuat dari pada Al Mufassar tapi tidak lebih terang. Dikatakan demikian karena Al Muhkam tidak menerima nasakh sementara Al mufassar menerima. Ketidak menerimaan Al Muhkam terhadap naskh tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan naskh bukan bersumber dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh karena itu Almuhkam lebih kuat dari lafadz-lafadz yang lain.
Ada dua perkara yang menjadi sebab Al Muhkam tidak menerima naskh baik pada periode Rasululloh SAW maupun sesudah beliau wafat, yaitu :
1.     Nash  muhkam yang mempunyai makna yang tidak mungkin berubah. Seperti hukum-hukum pokok dalam agama antara lain iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,rasul-RasulNya dan iman kepada hari akhir, iman kepada sifat-sifat Allah SWT.[40] Nash-nash tentang pokok-pokok akhlak yang utama yang diakui oleh akal yang sehat seperti kejujuran, menepati janji, amanah, bakti pada orang tua, sillaturrahmi dan nash-nash yang bermakna berlawanan dari itu. Seperti dusta, khianat,zalim, durhaka pada orang tua dan memutuskan sillaturrahim. Demikian juga apabila di dalam nash terdapat lafadz yang menunjukkan atas keabadian makna.[41] seperti ayat

وَمَا كَانَ لَكُمْ أَن تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَن تَنكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِن بَعْدِهِ أَبَداً إِنَّ ذَلِكُمْ كَانَ عِندَ اللَّهِ عَظِيماً ﴿٥٣﴾

Kalimat أَبَدا menunjukkan secara jelas bahwasannya hukumini berlaku selamanya. Ayat-ayat yang yang mempunyai makna demikian seluruhnya beersifat muhkam lia’inihi atau lidzatihi karena maknanya tidak mungkin berubah.
2.     Nash yang mengandung kemungkinan naskh baik pada lafadz maupun pada maknanya.Akan tetapi kemungkinan tersebut sirna karena meninggalnya Rasululloh SAW sebelum ada keterangan tentang naskhnya. Nash yang demikian masuk pada muhkam lighoirihi. Jadi seluruh bagian dari wadih dalalah yaitu dzahir,nash dan mufassar menjadi muhkam setelah meninggalnya Rasululloh SAW . Muhkam dalam arti bebas dari naskh bukan dari takhsis ataupun takwil.[42]
Para ulama ushul sepakat bahwa al muhkam menduduki posisi tertinggi dalam kejelasan di antara derajat-derajat kejelasan lafadz. al muhkam menunjukkan makna yang jelas dan tidak ada kemungkinan takwil, takhsis dan naskh. Baik pada peride Rasululloh maupun sesudah beliau wafat. Wajib mengamalkan hukum lafadz muhkam secara pasti (qoti’) tanpa mengandung kemungkinan-kemungkinan alternatif  lain dan tidak mungkin dinaskh oleh lafadz lain. keterangan-keterangan tentang hal-hal yang metaphisis juga harus diyakini.
Apabila metode hermeneutik diterapkan dalam lafadz muhkam ini. Maka perkara-perkara yang tetap dalam agama akan berubah. Baik itu tetap karena muhkam lidzatihi maupun karena muhkam lighoirihi. Contohnya adalah firman Allah SWT dalam 
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ﴿١٩﴾[43]
 Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ ﴿١﴾[44]
Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa,
قُلْ مَن يَرْزُقُكُم مِّنَ السَّمَاءِ وَالأَرْضِ أَمَّن يَمْلِكُ السَّمْعَ والأَبْصَارَ وَمَن يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيَّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَن يُدَبِّرُ الأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللّهُ فَقُلْ أَفَلاَ تَتَّقُونَ ﴿٣١﴾[45]
Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?" Maka mereka akan menjawab: "Allah". Maka katakanlah: "Mengapa kamu tidak bertakwa (kepada-Nya)?"
Ayat-ayat ini adalah semuanya muhkam lidzatihi. Dalalahnya jelas maknanya tidak mungkin berubah. baik karena takwil, takhsis maupun naskh. Karena ia adalah perkara pokok agama. Apabila hermeneutik diaplikasikan dalam lafadz ini maka perkara yang tetap akan berubah. Pokok-pokok yang harus diyakini akan didangkalkan dengan teori relativisme penafsiran.
Kesimpulannya adalah tidak ada makna yang jelas, tetap dan qoti’ dalam hermeneutik. Baik dzahir, nash, mufassar maupun  muhkam belum final dan masih terbuka kemungkinan berubah sesuai dengan realitas dan rasionalitas. Asumsi ini didasari oleh relativitas penafsiran. Semua penafsiran adalah produk akal manusia sedangkan kebenaran akal manusia bersifat relative. Yang mutlak adalah wahyu dan agama.
Penafsiran yang didasari oleh ketundukan terhadap realitas nampak pada teori double movement Fazlurrahman[46]. Dari situasi sekarang ke masa al-Quran diturunkan dan kembali ke masa kini. Fazlur Rahman menerangkan ide double movement sebagai berikut :
“Gerakan pertama menempuh dua langkah. Pertama, orang harus memahami arti atau makna dari suatu pernyataan dengan mengkaji situasi atau problem historis dimana pernyataan al Quran tersebut merupakan jawabannya. Tentu saja, sebelum mengkaji ayat-ayat spesifiknya, suatu kajian mengenai situasi makro dalam batasan-batasan masyrakat, agama, adat istiadat, lembaga-lembaga, bahkan mengenai kehidupan secara menyeluruh di Arabia pada saat kehadiran Islam dan khususnya di sekitar Makkah. Dengan tidak mengkesampingkan peperangan-peperangan Persia-Bizantium akan harus dilakukan. Jadi langkah pertama dari gerakan yang pertama adalah memahami makna al Quran sebagai suatu keseluruhan disamping dalam batasan-batasan ajaran-ajaran khusus yang merupakan respon terhadap situasi-situasi khusus. Langkah kedua adalah menggenaralisir jawaban-jawaban spesifik tersebut dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral sosial umum yang dapat disaring dari ayat-ayat spesifik dalam sinaran latar belakang sosio historis dan rationes legis yang sering dinyatakan. Benar, langkah yang pertama memahami makna dari ayat spesifik itu sendiri mengimplikasikan langkah yang kedua dan membawa kepadanya. Selama proses ini perhatian harus diberikan kepada arah ajaran al Quran sebagai suatu keseluruhan sehingga setiap arti tertentu yang dipahami, setiap hukum yang dinyatakan dan setiap tujuan yang dirumuskan akan koheren dengan yang lainnya. Al quran sebagai suatu keseluruhan memang menanamkan suatu sikap yang pasti terhadap hidup dan memiliki dan memiliki suatu pandangan hidup yang konkret; ia juga mendakwakan bahwa ajarannya “ tidak mengandung kontradiksi dalam, tetapi koheren secara keseluruhan”[47]
Fazlur Rahman menerangkan metode gerakan ganda tersebut sebagai berikut : “sementara gerakan yang pertama terjadi dari hal-hal yang spesifik dalam al Quran ke penggalian dan sistemasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjangnya, yang kedua  harus dilakukan dari pandangan umum ini ke pandangan spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan sekarang. Artinya, ajaran-ajaran yang bersifat umum harus ditubuhkan dalam konteks sosio historis yang konkret di masa sekarang. Ini sekali lagi memerlukan kajian yang cermat atas situasi sekarang dan analisis berbagai unsur komponennya sehingga kita bisa menilai situasi sekarang dan mengubah kondisi sejarah sekarang sejauh yang diperlukan, dan menentukan prioritas-prioritas baru untuk bisa mengimplementasikan nilai-nilai al Quran secara baru pula. Sejauh linkup kita mampu mencapai kedua momen dari gerakan ganda ini dengan berhasil, perintah-perintah al quran akan menjadi hidup dan efektif kembali.” [48]
Dengan ide double movementnya ini Fazlurrahman telah menjadikan hukum-hukum Al Quran tunduk dibawah situasi-situasi kondisional yang terus menerus berubah. Al quran tidak dijadikan imam yang ditaati. Namun ajaran-ajarannya dikompromikan agar sesuai dengan selera hawa nafsu. hukum-hukum syari’ yang qoti’ dalam makna dzahir, nash, mufassar bahkan muhkam dinegasikan. Fazlurrahman telah menolak keharaman riba, pembolehan poligami, hudud dan hukum-hukum Islam lainnya.  Menurut Rahman, Al Quran ketika diturunkan dipengaruhi oleh situasi historis saat itu. Sehingga ia merasa perlu mengklasifikasikan idea moral dan legal spesifik. Karena kondisi sekarang berbeda ia mengatakan yang berlaku adalah idea moral dan bukan legal spesifik. Dalam menolak poligami ia beralasan kondisi Arab ketika Al Quran diturunkan tidak membatasi jumlah wanita untuk dinikahi. Maka Al Quran meresponnya dengan membatasi empat istri. Inilah legal formal sedangkan idea moralnya adalah pembatasan satu istri. Ketika Al Quran diaplikasikan saat ini maka yang berlaku adalah idea moralnya yaitu satu istri.[49]

barang di dalam kuburan tidak digolongkan kepada pencuri, sehingga hukumannya cukup dengan ta’zir.[33]
F.     Musykil
Lafaz musykil ialah:
مَا خُفِيَ مَعْنَاهُ بِسَبَبٍ فِى ذَاتِ الَّلفْظِ
Suatu lafaz yang samar artinya, disebabkan oleh lafaz itu sendiri.[34]
Sumber kesamaran dari lafaz itu adakalanya karena lafaz itu digunakan untuk arti yang banyak sehingga tidak dapat dipahami artinya jika hanya dengan melihat lafaz tersebut.
Lafaz musytarak termasuk ke dalam bentuk ini. Mungkin pula ketidakjelasan lafaz itu karena ada pertentangan antara apa yang dipahami dari suatu nash dengan apa yang dipahami dari nash lain.[35] Dalam memahami lafaz jenis ini diperlukan petunjuk dari luar lafaz, sehingga dalam penemuan petunjuk dari luar itu terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama. Contohnya lafaz quru’ dalam Surat Al-Baqarah (2) ayat 228:
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr'Î/ spsW»n=rO &äÿrãè% 4
Perempuan-perempuan yang bercerai dari suaminya hendaklah ber’iddah selama tiga quru’.
Lafaz quru’ dalam ayat tersebut bermakna ganda, yaitu “suci” dan “haid”.[36] Karena lafaz tersebut memiliki arti ganda, sehingga diperlukan adanya qarînah yang akan menjelaskannya. Dan karena qarînah yang digunakan ulama berbeda, sehingga hukum yang dihasilkan pun akan berbeda pula.
Imam Syafi’i dan sebagian para mujtahid berpendapat bahwa yang dimaksud dengan lafadh “al-qar-u” dalam ayat tersebut adalah suci. Qarinahnya adalah adanya tanda muannats (perempuan) pada kata bilangan, yang menurut bahasa ma’dudnya (yang dibilang) adalah mudzakkar, yaitu اَلطُّهْرُ (suci).[37]
Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah dan segolongan mujtahidin bahwa lafadh “al-qar-u” dalam ayat tersebut adalah haid. Qarinahnya:
a.       Hikmah disyariatkannya iddah adalah untuk mengetahui bersihnya rahim dari kehamilan. Dan untuk mengetahui masalah ini dengan cara memperhatikan haid.[38]
b.      QS. At-Thalaq (65) ayat 4:
‘Ï«¯»©9$#ur z`ó¡Í³tƒ z`ÏB ÇÙŠÅsyJø9$# `ÏB ö/ä3ͬ!$|¡ÎpS ÈbÎ) óOçFö;s?ö‘$# £`åkèE£‰Ïèsù èpsW»n=rO 9ßgô©r& ‘Ï«¯»©9$#ur óOs9 z`ôÒÏts† 4
Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid.
Ayat tersebut di atas menghubungkan hitungan bulan dengan ketiadaan haid. Maka berarti bahwa yang asal adalah hitungan dengan haid.[39]
c.       Dalam riwayat ad Daruquthni dari Ibnu ‘Amr:
طَلَاقُ الْأَمَةِ تَطْلِيْقَتَانِ وَعِدَّتُهَا حَيْضَتَانِ

Thalaq bagi hamba sahaya itu dua kali dan iddahnya dua kali haid.[40]
Adanya ketegasan bahwa iddah bagi hamba sahaya dua kali haid ini merupakan penjelasan bahwa yang dimaksud dengan “quru” adalah haid untuk masa iddah bagi wanita merdeka.[41]
G.    Mujmal
Menurut bahasa al-mujmal berari samar.[42] Dan menurut istilah berarti: lafaz yang dengan bentuk (shigat)-nya tidak menunjukkan kepada pengertian yang dikehendaki olehnya, dan tidak tedapat qarinat-qarinat lafaz atau keadaan yang dapat menjelskannya. Maka sebab kesamaran di dalam al-mujmal ini bersifat lafzhiy, bukan bersifat ‘aridhiy (sifat yang baru datang dari luar lafaznya).[43]
Contoh lafaz mujmal ialah lafaz yang artinya dipindahkan oleh syara’ dari arti bahasa ke arti syara’, seperti lafaz salat, zakat, puasa, dan haji. Lafaz salat menurut bahasa diartikan dengan doa, namun menurut syara’ ialah suatu perbuatan tertentu yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam.[44] Yang menerangkan arti syara’ tersebut adalah pembuat peraturan itu sendiri karena ditemui sunah qauliyah dan sunah fi’liyah yang menerangkan arti yang dimaksud oleh syara’.[45] Sabda Rasulullah s.a.w.:
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى اُصَلِّىْ
Lakukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat.[46]
Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat, puasa, hajji, dan riba, serta segala sesuatu yang datang secara mujmal dalam nash-nash Al-Qur’an.[47]
Di antara mujmal adalah lafaz yang gharib (asing) yang ditafsirkan oleh nash sendiri dengan makna khusus, seperti lafaz al-qari’ah dalam QS. Al-Qari’ah (101) ayat 1-5:
èptãÍ‘$s)ø9$# ÇÊÈ   $tB èptãÍ‘$s)ø9$# ÇËÈ   !$tBur y71u‘÷Šr& $tB èptãÍ‘$s)ø9$# ÇÌÈ   tPöqtƒ ãbqä3tƒ â¨$¨Y9$# ĸ#txÿø9$$Ÿ2 Ï^qèZ÷6yJø9$# ÇÍÈ   ãbqä3s?ur ãA$t6Éfø9$# Ç`ôgÏèø9$$Ÿ2 Â\qàÿZyJø9$# ÇÎÈ 
Hari kiamat. Apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu Apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. Dan gunung-gunung adalah seperti bulu yang dihambur-hamburkan.
Apabila penjelasan terhadap mujmal datang dari syari’, akan tetapi penjelasan itu tidak tuntas untuk dapat menghilangkan kemujmalan itu, maka dengan penjelasan itu mujmal menjadi musykil. Jalanpun terbuka untuk ijtihad dan pembahasan untuk menghilangkan ke-musykil-annya.[48]
H.    Mutasyâbbih
Mutasyâbbih ialah lafal yang petunjuknya memberikan arti yang dimaksud oleh lafal itu sendiri, sehingga tidak ada di luar lafal yang dipergunakan untuk memberikan petunjuk tentang artinya dan juga syara’ tidak menerangkan tentang artinya.[49]
Di antara lafaz mutasyâbbih adalah huruf-huruf hija’iyah yang terpotong-potong pada permulaan sebagian surat-surat Al-Qur’an, seperti: حم, ق, ص, الم . Dan ayat-ayat yang menurut zhâhir-nya menunjukkan secara samar adanya penyerupaan al-Khâlik kepada makhluk-Nya, seperti dalam hal Allah mempunyai mata, tangan, dan muka.[50] Contohnya:
a.       QS. Hud (11) ayat 37:
ÆìoYô¹$#ur y7ù=àÿø9$# $uZÏ^ã‹ôãr'Î/
Dan buatlah bahtera itu dengan mata-mata Kami.
b.      QS. Al-Fath (48) ayat 10:
߉tƒ «!$# s-öqsù öNÍk‰É‰÷ƒr&
Tangan Allah di atas tangan mereka.
c.       QS. Ar-Rahman (55) ayat 27:
4’s+ö7tƒur çmô_ur y7În/u‘ rèŒ È@»n=pgø:$# ÏQ#tø.M}$#ur ÇËÐÈ 
Dan tetap kekal muka Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.
Menurut ulama salaf, adanya kesamaran pada huruf-huruf hija’iyah dan ayat-ayat tersebut dikarenakan tidak dapat dipahami menurut arti bahasa. Lagi pula Allah dan Rasul-Nya tidak menjelaskan arti dan maksud yang dikehendaki. Dengan demikian menurut mereka hanya Allahlah Yang Maha Mengetahui dan Maha Mendengar lagi pula Maha Suci dari segala sesuatu yang menyerupai makhluk-Nya.[51]
Sedangkan menurut ulama khalaf, bahwa ayat-ayat yang menurut arti zhâhir-nya mustahil seperti Allah mempunyai tangan, mata, dan muka, itu semua harus di-ta’wil-kan dan dipalingkan dari arti zhâhir-nya kepada arti yang sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab sekalipun dengan jalan majaz.[52]
Sebab terjadinya perbedaan antara ulama salaf dengan ulama khalaf disebabkan oleh perbedaan mereka dalam memahami surat Ali ‘Imran (3) ayat 7, yaitu:
u$tBur ãNn=÷ètƒ ÿ¼ã&s#ƒÍrù's? žwÎ) ª!$# 3 tbqã‚Å™º§9$#ur ’Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)tƒ $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ωZÏã $uZÎn/u‘
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyâbbihat. Semuanya itu dari sisi Tuhan kami.
Dalam ayat ini ulama salaf memberi tanda waqf (berhenti) pada lafaz ª!$# (Allah). Atas dasar ini hanya Allahlah yang dapat mengetahui arti ayat-ayat al-mutasyâbbihat itu. Namun demikian kita wajib mengimaninya dan menyerahkan pemaknaannya kepada Allah. Oleh karena itu, menurut mereka, kita tidak punya kewajiban untuk membicarakan dan membahas ta’wil-nya.[53]
Sedang ulama khalaf  memberi tanda waqf  pada lafaz  tbqã‚Å™º§9$#ur ’Îû ÉOù=Ïèø9$# (dan orang-orang yang mendalam ilmunya). Atas dasar ini ayat-ayat al-mutasyâbbihat itu dapat diketahui arti-artinya oleh Allah dan orang-orang yang sangat dalam ilmunya. Mereka men-ta’wil-kan ayat-ayat itu sesuai dengan dalil-dalil akal dan aturan bahasa Arab. Dan mereka memahasucikan al-Khaliq dari hal-hal yaPng meyerupai makhluk-Nya.[54]
Description: Makalah Ushul Figh.DZAHIR Rating: 4.5 Reviewer: fauzulonline ItemReviewed: Makalah Ushul Figh.DZAHIR
Posted by:Mbah Qopet
Mbah Qopet Updated at: Sabtu, Februari 16, 2013

0 komentar

Posting Komentar