Tentang Ham
Pada tahun 1998, dalam rangka memperingati HUT ke-50
pendeklarasian Hak-Hak Asasi oleh PBB, ada diskusi tentang perlunya sebuah
kodeks yang menetapkan Kewajilban-Kewajiban Asasi Manusia sebagai imbangan
terhadap Hak-Hak Asasi Manusia. Argumentasi dasarnya adalah bahwa manusia tidak
hanya mempunyai hak yang melekat pada kemanusiaannya, tetapi juga sejumlah
kewajiban yang mesti dilaksanakannya. Keluhuran martabat manusia tidak hanya
ditunjukkan oleh kesadaran akan hak-haknya, tetapi juga oleh kesanggupan untuk
menerima sejumlah kewajiban sebagai tugas yang mesti dilaksanakan.
Salah satu pemikiran dominan yang disampaikan menanggapi
keinginan pendeklarasian kewajiban-kewajiban asasi itu adalah kecemasan bahwa
orang akan merangkaikan tuntutan akan hak dengan pelaksanaan kewajiban. Apabila
ada kewajiban-kewajiban asasi, maka tidak mustahil akan diambil kesimpulan,
bahwa hak asasi seseorang ada dan dijamin selama dia memenuhi
kewajiban-kewajiban asasinya. Kegagalan melaksanakan
kewajiban-kewajiban asasi dilihat sebagai
pengkhianatan terhadap kemanusiaan diri sendiri. Dengan demikian orang tersebut
kehilangan pijakan untuk menuntut perlindungan terhadap hak-hak asasinya.
Apabila ada kewajiban asasi, maka pelaksanaan kewajiban itu dilihat sebagai
ungkapan kemanusiaan seseorang. Tidak melaksanakan kewajiban asasi berarti
tidak ada lagi kesadaran diri sebagai manusia. Pelaku kejahatan itu sendiri
sudah tidak menghargai dirinya sebagai manusia. Tanpa adanya penghargaan
terhadap kemanusiaan di dalam diri sendiri dan tanpa kesadaran akan martabat
diri sendiri sebagai manusia, seseorang ketiadaan basis rasional untuk menuntut
penghormatan terhadap hak-hak dasarnya.
Dengan pola pikir seperti ini hak-hak asasi manusia
dibahayakan, karena hak-hak itu ditentukan oleh kualifikasi dan prestasi
dirinya sebagai manusia yang ditunjukkan di dalam kesanggupan memenuhi
kewajiban-kewajiban asasinya. Gagal memenuhi kewajiban asasi berarti gagal
menjadi manusia, gagal menjadi manusia adalah alasan untuk tidak diperlakukan
sebagai manusia.
Pola pikir di atas tampaknya bercokol cukup mendalam pada
pikiran banyak orang yang merestui hukuman mati bagi para pelaku kejahatan
berat. Disadari atau tidak, konsep pemikiran seperti ini sering melatari sikap
orang yang membenarkan tuntutan hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat.
Karena itu, kita perlu menanggapi secara serius pandangan seperti ini, sebab
pemikiran seperti ini mengharuskan kita untuk mempertajam pemahaman kita
tentang hak-hak asasi manusia.
Memang ada banyak alasan yang disampaikan oleh kelompok
yang mendukung adanya hukuman mati. Misalnya: untuk memenuhi rasa keadilan
masyarakat yang berpedoman pada prinsip ius talionis (mata ganti mata, hidup
ganti hidup); untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan dari seorang warga
yang telah menunjukkan dirinya sebagai bahaya besar bagi keamanan seluruh warga
melalui tindak kejahatan besarnya; untuk memberikan shock therapy kepada
masyarakat yang diperkirakan akan merasa takut untuk melakukan pelanggaran yang
sama.
Dan satu lagi yang
dominan adalah apa yang dikatakan di atas: seorang pelaku kejahatan berat sudah
menunjukkan diri bahwa dia bukan manusia. Dia melakukan di luar batas kewajaran
sebagai seorang manusia. Sebab itu, dia tidak layak diperlakukan sebagai
manusia. “Dia kejam, dia jahat. Dia sudah bukan manusia lagi. Untuk apa kamu
masih memperjuangkan hak-haknya?” Betapa sering pertanyaan yang mengungkapkan
penolakan atas perlakuan manusiawi terhadap pelaku kejahatan berat ini
dialamatkan kepada mereka yang terus memperjuangkan hak-hak asasi orang seperti
ini.
Pandangan seperti ini sudah bermula ketika orang
melukiskan tindak kejahatan seseorang sebagai tindakan yang bestialis, tindakan
yang cuma ditemukan dalam gerombolan binatang-binatang buas. Logika berpikirnya
mengatakan: kalau tindakan itu bestialis, maka berdasarkan prinsip: tindakan
adalah ekspresi jati diri, orang lalu berkesimpulan, bahwa subjek yang
melakukan tindakan itu adalah juga binatang. Dia direndahkan menjadi binatang,
dan karena binatang buas yang membahayakan dibenarkan pembasmiannya, maka ada
legitimasi pula untuk mengeliminasi subjek seperti ini melalui penjatuhan dan
pelaksanaan hukuman mati atas dirinya.
Menanggapi pola pikir seperti ini perlu diuraikan prinsip
pertama dan utama yang menjadi pedoman penting setiap perjuangan membela HAM:
bahwa hak-hak ini melekat pada kemanusiaan seseorang, sebelum ada kualifikasi
moral dan rasional apa pun. Kemanusiaan seseorang tidak ditentukan oleh
kualitas moralnya. Seseorang tetap merupakan seorang manusia, juga ketika
moralitasnya patut diragukan karena pelanggaran-pelanggaran yang terbukti.
Kenapa demikian?
Adalah benar bahwa manusia merupakan insan moral. Namun
moralitas bukanlah sebuah status yang sudah baku dan terberi. Dengan kelahiran
sebagai manusia tidak diberikan kepada manusia satu kualitas moral yang
sempurna. Sebaliknya, dengan kelahiran sebagai manusia ia mendapat sebuah tugas
untuk terus mengkualifikasikan dirinya sebagai makhluk moral. Moralitas adalah
sebuah tugas, bukan sebuah pemberian. Yang terberi adalah kemanusiaan,
sementara moralitas merupakan sebuah cita-cita yang perlu diwujudkan manusia.
Kemanusiaan ada sebagai basis untuk menjadi makhluk yang bermoral.
Apabila kita mengatakan bahwa moralitas adalah sebuah
tugas, maka pernyataan ini sebenarnya lahir dari kesadaran bahwa manusia selalu
berada dalam bahaya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak bermoral.
Justru karena itu, moralitas adalah sebuah upaya pengkualifikasian diri, sebuah
perjuangan yang terus-menerus. Moralitas seseorang ditunjukkan oleh
kesungguhannya untuk menguasai diri sekian sehingga ia bertindak seturut kaidah
moral. Namun perjuangan seperti ini tidak pernah dapat meniadakan kemungkinan
melakukan kejahatan. Kita dapat mengatakan bahwa termasuk dalam kemanusiaan
seseorang adalah bahwa dia dapat juga melakukan kejahatan. Melakukan kejahatan
bukanlah sesuatu yang terlepas dari kemanusiaan seseorang. Sebab itu, seseorang
yang melakukan kejahatan, apa pun dan betapa pun besarnya kejahatan itu, tidak
pernah kehilangan kemanusiaannya.
Berpikir seperti di atas bukan berarti bahwa kita
membenarkan tindak kejahatan dan menyepelekan kejahatan seseorang dengan alasan
kemanusiaan. Juga dengan pemikiran seperti ini kita tidak menolak setiap bentuk
hukuman terhadap penjahat. Kejahatan adalah sebuah pelanggaran dan harus
dilihat dan dinilai sebagai pelanggaran. Melalui tindak kejahatannya manusia
melanggar apa yang seharusnya menjadi cita-citanya. Namun karena pelanggaran
adalah penyimpangan dari apa yang seharusnya menjadi cita-cita, maka hukuman
atas pelanggaran itu tidak boleh menghilangkan basis untuk perealisasian
cita-cita itu. Menghukum mati seseorang berarti meniadakan kemungkinan utama
orang itu untuk kembali berjuang merealisasikan apa yang menjadi tugasnya. Kita
memang patut menjatuhkan hukuman kepada seseorang yang melakukan pelanggaran.
Tetapi hukuman itu diberikan selalu dengan tujuan agar orang itu disadarkan dan
dimampukan untuk mengenal dan melaksanakan apa yang seharusnya dilakukannya.
Hukuman yang dijatuhkan tidak akan pernah sanggup membayar atau memperbaiki
kesalahan yang sudah dibuat. Hukuman hanya mempunyai makna apabila dijalankan
untuk menyadarkan orang akan kewajibannya.
Dalam alur argumentasi ini kita menempatkan perlunya apa
yang disebut sebagai kodeks kewajiban-kewajiban asasi manusia. Adanya tuntutan
akan pemenuhan kewajiban-kewajiban dasar bersumber dari kesadaran dan
pengalaman bahwa manusia memang sering tidak melakukan apa yang seharusnya
dilakukannya. Karena ada kemungkinan untuk tidak melakukannya, maka kita
perlukan sebuah rumusan yang mewajibkan dan kita perlu membentuk instansi-instansi
yang memperhatikan pelaksanaan kewajiban-kewajiban itu. Kita tidak akan
mewajibkan orang untuk melakukan sesuatu, apabila manusia dari kodratnya hanya
memiliki kemungkinan untuk melakukan sesuatu itu, jika tidak ada alternatif
untuk melakukan sesuatu yang lain. Sesuatu kita sampaikan sebagai kewajiban,
agar di tengah situasi konkrit yang memungkinkan seseorang untuk tidak
melakukan kewajiban itu, dia tetap memilih melaksanakan kewajibannya. Namun
pelaksanaan kewajiban itu hanya mungkin selama kemanusiaan seseorang diakui dan
dipertahankan. Sebab itu, pelanggaran dalam menjalankan kewajiban asasi tidak
pernah dapat menjadi alasan untuk meniadakan kemanusiaan itu melalui hukuman
mati yang dijatuhkan dan dilaksanakan terhadap seorang pelaku kejahatan.
Juga dalam gerak pemikiran yang sama kita tempatkan
tanggung jawab moral masyarakat. Sebagai perwujudan sebuah ideal moral,
masyarakat harus tetap mempertahankan penghargaan yang tak tergoyahkan pada
keluhuran martabat manusia. Kewajiban masyarakat adalah menciptakan kondisi
untuk menyadarkan seseorang akan tanggung jawabnya dan dengan demikian akan
hakikat dirinya sebagai makhluk yang bermoral. Masyarakat melaksanakan peran
ini apabila dia tetap berpegang teguh pada keluhuran martabat kemanusiaan
seorang penjahat dan tidak melepaskannya bersama dengan kejahatan yang
dilakukannya. Dengan tetap berpegang pada martabat manusia seorang penjahat,
masyarakat menyodorkan kepada orang tersebut apa yang seharusnya dia lakukan.
Untuk mempertahankan manusia sebagai makhluk bermoral, mayarakat tidak boleh
mendegradasikan seorang penjahat ke tingkat binatang buas.
Dengan pendegradasian semacam ini masyarakat membatalkan
dasar tuntutan tanggungjawab si penjahat itu sendiri. Apabila dia sudah
disamakan dengan binatang, maka dia tidak mempunyai lagi kewajiban yang sama
seperti kewajiban seorang manusia. Kalau demikian, sebenarnya tidak ada alasan
untuk menuntut orang seperti ini melakukan kewajiban seorang manusia dan
menghukumnya dengan alasan kegagalannya memenuhi kewajiban seorang manusia.
Sebaliknya, dengan tetap mempertahankan dan menghormati kemanusiaannya,
masyarakat tetap menghidupkan ideal kemanusiaan di hadapan orang seperti ini
dan mendorongnya untuk memenuhi tuntutan moralnya. Konsistensi penghargaan
masyarakat terhadap martabat manusia sepatutnya ditunjukkan dengan sikap tetap
menghargai martabat manusia yang sudah melakukan banyak pelanggaran.
Description: Tentang Ham
Rating: 4.5
Reviewer: fauzulonline
ItemReviewed: Tentang Ham
Posted by:Mbah Qopet
Mbah Qopet Updated at: Senin, Desember 03, 2012
0 komentar
Posting Komentar